26 February 2009

UNJUK KUASA DPR


Rapat dengar pendapat (RDP) Komisi VII DPR dengan Pertamina pada 10 Februari 2009 berbuntut panjang. Pernyataan serta pertanyaan anggota Komisi VII dinilai Direksi Pertamina berlebihan dan melecehkan. Bagaimana tidak, kinerja Direksi BUMN terkemuka itu disamakan dengan Satpam.


Tidak terima dengan pernyataan dan penilaian anggota Komisi VII, Direksi Pertamina mengirim surat teguran kepada DPR. Secara substansi, surat Pertamina sebetulnya hanya ingin mengklarifikasi pernyataan DPR dan meluruskan maksud RDP agar lebih efektif dan lebih menyentu substansi persoalan. Tidak ada yang luar biasa apalagi melecehkan (bila objektif mencermati isi surat).


Ternyata Komisi VII menanggapi surat Pertamina sebagai sebuah pelecehan terhadap Lembaga Negara. Rapat dengar pendapat yang telah diagendakan 16 Februari 2009 dibatalkan sepihak oleh DPR. Direksi Pertamina diberondong berbagai pertanyaan dan pernyataan yang bernada marah dari para anggota.


Ketegangan kedua lembaga itu tak terelakan. Namun bila ditelusuri lebih jauh, ketegangan DPR dengan Pertamina bukanlah hal baru. Hampir semua direksi baru Pertamina mengalami hal serupa. Anggota DPR biasanya sangat galak mengkritisi kebijakan direksi baru. Tetapi selanjutnya, sikap itu berubah. Apakah karena pihak direksi mampu menjinakan para anggota yang galak, atau kinerja Pertamina yang semakin baik sehingga anggota tidak perlu galak lagi, atau mungkin ada udang dibalik batu, hanya mereka (anggota) dan Tuhan yang tahu.


Bagi saya, sikap DPR yang galak maupun Direksi Pertamina yang mengirim surat protes, teguran atau apapun namanya, bukanlah sesuatu yang tabu atau luar biasa. DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasannya bebas bertanya apa saja dalam rapat dengar pendapat dengan mitra kerjanya. Sebagai anggota dewan terhormat, DPR sangat mampu membedakan yang patut dan tidak disampaikan dalam forum terhormat seperti itu. Dalam kode etik DPR juga dijelaskan, bahwa setiap anggota wajib dan bertanggungjawab untuk menjaga etika sopan santun dalam rapat - rapat di DPR.


Sebaliknya, mitra kerja tidak dilarang menyampaikan keberatan, protes atau klarifikasi kepada DPR baik disampaikan secara lisan maupun tertulis. Rakyat biasapun boleh mengirim surat protes, atau apapun namanya kepada DPR. Jadi DPR bukanlah lembaga super yang tidak dapat disentu siapapun.

Dalam konteks ini, saya menilai apa yang terjadi antara DPR dengan Pertamina demikian sebaliknya Pertamina terhadap DPR sebagai sesuatu yang biasa di alam demokrasi sekarang ini. Baik DPR maupun Pertamina juga punya hak untuk tersinggung, marah atau kecewa. Karena yang ada di dua lembaga tersebut adalah kumpulan manusia. Hanya peren mereka berbeda sesuai tugas dan fungsinya masing – masing.


Persoalannya adalah cara mengekspresikan perasaan tersinggung, marah dan kecewa yang dinilai berlebihan. Sikap DPR yang menghentikan RDP secara sepihak tanpa peduli dengan penjelasan pihak pertamina merupakan sikap arogansi yang berlebihan. Cara DPR yang demikian tidak lain hanyalah pamer kekuasaan, dimana mitra kerja (Pertamina) harus tunduk dihadapan DPR.


Sebetulnya mitra kerja lain yang diperlakukan seperti pertamina oleh komisi-komisi di DPR juga cukup banyak. Mungkin mitra kerja lain hanya diam selama ini ketika diperlakukan seperti itu. Sehingga ketika Pertamina menyampaikan keberatan melalui surat resmi, DPR seperti kebakaran jenggot sehingga menanggapinya begitu panik dan marah.


Seolah-olah surat pertamina telah meruntuhkan citra lembaga terhormat itu dalam sehari. Terus terang saya heran dan terkejut melihat kemarahan DPR karena merasa sangat dilecehkan dengan surat Pertamina. Pertanyaannya, apa yang salah dan mengapa harus merasa dilecehkan? Kalau DPR tidak ingin dilecehkan mestinya mereka juga tidak mengeluarkan pernyataan yang cenderung melecehkan mitra kerjanya.


Dengan dihentikan sepihak rapat dengan Pertamina sesungguhnya, DPR telah mengalahkan kepentingan yang lebih besar dengan persoalan eksistensi mereka. Dalam hal ini DPR gagal sebagai pejuang aspirasi rakyat untuk mempertanyakan mengapa krisis BBM dan gas terus terjadi?


Sesungguhnya pelecehan terbesar bagi DPR adalah ketika mereka tidak mampu mengemban amanat rakyat, untuk mengurangi penderitaan rakyat seperti korban Lapindo, krisis BBM, harga pupuk mahal, biaya sekolah mahal dan biaya kesehatan yang semakin melonjak. Andai kata DPR empati terhadap penderitaan rakyat yang terus mengantri BBM dan gas, mestinya RDP yang penting itu tidak dihentikan hanya karena merasa tersinggung.


Pelajaran Penting

Namun demikian, peristiwa itu telah terjadi, betul pepata yang mengatakan ”menyesal kemudian tak ada gunanya”. Tetapi apa yang dapat dipetik dari ketegangan DPR dengan pertamina ini? Bagi saya yang paling penting adalah : Pertama, perlu dibangun sikap saling menghargai dan menghormati satu dengan yang lain. Antara DPR dengan mitra kerjanya. Karena keinginan untuk dihargai dan dihormati bukan saja DPR tetapi juga pihak lain termasuk mitra kerja atau rakyat jelata sekalipun.


Kedua, apa yang dilakukan Pertamina merupakan pelajaran bagi DPR. Selama ini banyak mitra kerja yang diperlakukan hampir sama oleh komisi di DPR. Mungkin mereka tidak berani menyampaikan keberatan, hanya sekedar ingin menjaga relasi dengan DPR. Apa yang dilakukan Pertamina kiranya dapat membuka mata para anggota dewan terhormat sehingga ke depan tidak terulang kembali.


Ketiga, perlu didesain ulang sistem rapat kerja di DPR sehingga menjadi efektif dan efisien. Selama ini rapat dengar pendapat dengan mitra kerja terasa membosankan, jenu, bertele-tele, tidak efektif dan efisien. Karena itu perlu diatur agar rapatnya menjadi efektif dan efisien serta menyentu substansi persoalan. Tanpa membatasi hak anggota untuk bertanya, tetapi harus diatur agar tidak dijadikan ajang pidato bagi anggota yang cenderung berulang-ulang terhadap hal yang sama.


Keempat, DPR dan Pertamina perlu memperbaiki pola relasi ke depan. Karena kinerja pertamina yang baik sangat diharapkan rakyat bangsa ini yang mayoritas bergantung pada BBM dan gas yang disalurkan Pertamina. Sebaliknya, kontrol yang dilakukan DPR adalah bagian dari upaya untuk mendorong kinerja pertamina untuk semakin baik.


Kelima, tentu saja konflik ini harus segera diakhiri, karena kalau dibiarkan akan semakin parah. Bila hubungan kedua institusi ini tak kunjung baik maka yang dirugikan adalah rakyat banyak. Tapi memperbaiki pola hubungan bukan saling menjinakan apalagi kalau ada udang dibalik batu.

Sebastian Salang

Koordinator FORMAPPI Jakarta

( Catatan : Tulisan Ini telah diterbitkan Koran Suara Merdeka Semarang, edisi 19 Februari 2009)

MEMILIH DENGAN CERDAS DAN RASIONAL

Pemilu legislatif tinggal beberapa hari. Hiruk pikuk persiapan pemilu semakin terasa. Partai politik silih berganti mengikrar komitmen, menawar program melalui iklan televisi maupun radio. Calon Legislatif (Caleg) tidak ketinggalan, memasang aksi melalu baliho, spanduk serta stiker yang dipajang di jalan-jalan kota maupun desa.

Pendeknya segala upaya dilakoni demi memikat hati rakyat. Semakin dekat hari pemungutan suara, semakin gencar perjuangan partai dan Caleg meraih dukungan pemilih. Tidak heran, disaat – saat seperti itu, mereka berlomba-lomba ingin menjadi yang terbaik.

Tidak ada yang salah dengan semua upaya tersebut. Persaingan antar partai dan Caleg yang makin ketat menuntut mereka mencari cara efektif demi meraih dukungan. Maklum, jumlah partai peserta pemilu 2009 tidak sedikit (38 partai nasional dan 6 partai lokal di Aceh). Jumlah kursi yang diperebutkan di DPR pusat 560, sementara calon yang memperebutkannya 11.301 (7.391 Pria) dan (3.910 Perempuan) tersebar di 77 daerah pemilihan ( Dapil).

Animo Masyarakat

Berbeda dengan Caleg, animo masyarakat pada pemilu 2009 cukup memprihatikan. Pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya cenderung meningkat sesuai tren diberbagai pemilihan kepala derah (Pilkada). Hal itu disebabkan dua faktor. Pertama, penyelenggara pemilu (KPU/D) tidak mendata semua masyarakat yang memiliki hak pilih. Kedua, masyarakat dengan sadar tidak ikut memilih karena kecewa dengan praktek demokrasi yang tak kunjung membawa perubahan ke arah yang semakin baik. Mereka ini disebut golongan putih (Golput).

Tidak memilih merupakan sikap protes mereka. Karena perilaku wakil rakyat dan elite politik hasil pemilu yang lalu dinilai gagal memperjuangkan harapan dan kepentingan rakyat. Kelompok ini meyakini pemilu 2009 juga akan menghasilkan elite serupa.

Memang ada yang mengatakan, ”demokrasi tidak dapat dimakan”. Demokrasi tidak dapat mengenyangkan perut yang sedang lapar. Pendapat tersebut kerap kita dengar dari kelompok penentang demokrasi atau kalangan yang kerap kecewa terhadap praktek demokrasi.

Pandapat seperti ini mungkin ada benarnya. Pemilu 2004 menghasilkan wakil rakyat yang cenderung memperkaya diri dan korup ketimbang memikirkan nasib rakyat yang susah. Dimana – mana rakyat masih mengantri beras, minyak tanah, gas dan berbagai kebutuhan pokok lainnya. Bahkan ada yang rela membakar diri dan anaknya karena tak mampu menangung beban hidup. Begitu banyak pengalaman memilukan tergambar dalam keseharian kita, namun wakil rakyat tidak memperlihatkan kepekaan sikap apalagi tindakan.

Pengalaman hidup yang demikian sulit, menyebabkan kelompok penentang atau mereka yang kecewa dengan perilaku politisi dan elit penguasa, mudah menyalahkan demokrasi sebagai gagal menjawab persoalan hidup, gagal membawa kesejahteraan bagi rakyat banyak.

Namun tesis itu dibantah Amartyasen pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi. Melalui hasil penelitiannya tentang pembangunan kesejahteraan, ia membuktikan bahwa pengawasan demokratis atas kekuasaan politik dan ekonomi merupakan faktor yang menentukan pencapaian kemakmuran suatu negara serta pendistribusiannya kepada masyarakat. Penerapan demokrasi menciptakan peluang bagi semua orang untuk mendapatkan bagiannya dari distribusi kemakmuran yang dicapai oleh negara.

Demokrasi memungkinkan pengawasan bersama atas pelaksanaan kekuasaan politik oleh mereka yang menjadi objek pelaksanaan kekuasaan tersebut. Dengan adanya pengawasan terhadap pelaksanaan kekuasaan, maka kepentingan rakyat tidak dapat diabaikan.

Sistem otoritarian tidak memungkinkan adanya pengawasan dalam pelaksanaan kekuasaan. Karena itulah mengapa otoritarianisme disebut sebagai salah satu musuh demokrasi. Pada sistem otoritarian, masyarakat tidak mempunyai pilihan apalagi menentukan elit yang berkuasa. Sebaliknya, demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Hanya di alam demokrasi, rakyat leluasa memilah dan memilih orang yang dapat dipercaya menjadi wakilnya di parlemen atau Presiden dan Wakil Presiden. Rakyatpun berhak mengontrol bahkan menghukum wakil atau pemimpinnya bila gagal atau ingkar janji.

Bila demikian, partisipasi pemilih dalam pemilu menjadi penting. Namun demikian, berpartisipasi (ikut memilih) saja tidak cukup. Semakin banyak pilihan, tuntutan bagi pemilihpun meningkat. Pemilih dituntut lebih cerdas, aktif dan kreatif. Begitulah seharusnya pemilih kita sekarang.

Di berbagai kesempatan sosialisasi maupun survey yang kami (FORMAPPI) adakan, ada begitu banyak pemilih yang masih gamang atau bingung menentukan pilihan. Saking banyaknya partai, sulit menilai idiologi mana yang cocok dan sesuai dengan kepentingannya. Jumlah Caleg yang berjubel juga menyulitkan pemilih membedakan mana yang baik, buruk, pintar atau bodoh.

Dalam kebingungan itu, pemilih kurang mendapat informasi yang memadai dari partai, Caleg maupun penyelenggara pemilu. Iklan, poster serta baliho tidak memberikan informasi yang cukup bagi dasar pertimbangan pemilih dalam menentukan pilihan. Apalagi sistem pemilu 2009 berbeda dari pemilu sebelumnya.

Walau begitu, pemilih tidak boleh memilih kucing dalam karung. Jadikan pemilu 2009 sebagai gerbang harapan baru menuju ”Rumah Indonesia” yang aman, makmur, adil, menghormati hak asasi manusia, hudup penuh toleransi dan saling berdampaingan. Untuk itu jangan biarkan kebingungan sampai hari pemungutan suara. Karena keputusan pemilih dalam bilik suara pada 9 April 2009, menjadi jaminan bagi terwujudnya harapan tersebut. Ketika pemilih salah membuat keputusan dalam waktu 3 menit di bilik suara, hukumannya selama lima (5) tahun bahkan lebih. Salah membuat pilihan atau tidak memilih berarti membiarkan bangsa ini semakin terperosok kedalam lembah kehancuran (krisis, korupsi dll). Baik dan buruknya wajah parlemen (wakil rakyat) kita ke depan sangat ditentukan pemilih.

Kriteria Caleg

Karena itu kebingungan pemilih harus dijawab, ditemukan solusinya. Mumpung waktu masih ada. Pemilih perlu didorong membentuk komunitas pemilih dalam kelompok dan tingkat yang paling kecil seperti kelompok basis, kampung atau Rukun Tetanga (RT). Komunitas pemilih proaktif mencari informasi, menyusun kriteria, mencari Caleg yang sesuai kriteria dan selanjutnya mengadakan kontrak politik dengan caleg bersangkutan.

Kriteria yang diajukan misalnya, tidak pernah melakukan tindak pidana, memiliki integritas yang baik, program yang realistis dan terukur, rekam jejak yang baik dalam kehidupan bermasyarakat, memiliki kemampuan serta komitmen membela kepentingan pemilih/rakyat, setia pada pancasila, menghormati hak asasi manusia, menjunjung tinggi dan menghormati pluralisme.

Selain kriteria, pemilih atau kelompok pemilih perlu mengikat janji dan program celeg dengan kontrak politik. Hal ini penting bagi caleg maupun pemilih, agar janjinya kelak dapat ditagih dan sang Caleg tidak ingkar janji.

Proses di atas sangat penting karena ada fenomena yang kurang baik dalam kampanye pemilu sekarang. Dimana semangat primordialisme sempit semakin mengental bahkan dieksploitasi demi menarik dukungan. Pemilih digiring agar memilih dengan pertimbangan satu keluarga, satu suku, satu daerah, satu agama serta warna kulit.

Bila dasar pertimbangan seperti ini terjadi, maka harapan dan cita –cita kita membangun rumah bangsa yang tidak membeda-bedakan latar belakang setiap anak bangsa akan rusak. Sendi-sendi keragaman demokrasi akan hancur. Karenanya pemilih yang cerdas dan rasional tentu menghindari pertimbangan sempit seperti itu.

Namun disadari, keputusan menentukan pilihan pada hari pemungutan suara adalah hak otonom setiap pemilih. Proses bersama dalam komunitas pemilih, hanya membantu agar pada hari pemungutan suara tiba, pemilih tidak bingung. Dari rumah, pemilih sudah punya pilihan. Partai apa, nama Caleg siapa dan nomor urutnya berapa. Jangan biarkan kebingungan sampai tempat pemungutan suara, karena anda bisa salah menentukan pilihan.

Sebastian Salang

Penulis dari FORMAPPI Jakarta.

16 February 2009

Kisah Tragis Anak Manusia Indonesia

Berita menyedihkan sekaligus mengenaskan terjadi di Kupang - Nusa Tenggara Timur hari Jumat ( 13/2 ). Karena miskin seorang ibu harus kehilangan anaknya. Ibu yang malang itu bernama Ny. Yacobus Amanut (37).
Sejak hari Minggu ( 8/2 ) lalu anak Ny.Yacobus menderita diare. Karena tidak punya uang, ibu itu tidak langsung membawa anaknya ke rumah sakit. Pada hari Kamis (12/2), kondisi Sipri, bocah malang berusia 2 tahun itu semakin memburuk. Maka, ibu itupun membawa Sipri ke RSUD WZ Yohannes Kupang. Namun pada hari Jumat (13/2) dini hari, nyawa Sipri tak tertolong lagi. Anak kecil yang sedang lucu-lucunya itu meninggal dunia karena terlambat mendapat pertolongan.

Karena sudah tak bernyawa lagi. maka jenazah bocah malang itupun disemayamkan di ruang jenazah RSUD WZ Yohannes Kupang. Tanpa mendapat perawatan yang memadai. Kira-kira pukul 15.00 Amanut meminta agar ambulans mengantar jenazah anaknya ke rumah duka di Kelurahan Liliba yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari rumah sakit. Namun petugas ambulans meminta ongkos Rp 300.000 hanya untuk mengantarkan jenazah yang lokasinya tidak seberapa jauh jaraknya itu. Sebuah harga yang mahal, bahkan lebih mahal dari tiket pesawat terbang untuk rute sependek itu.

Ketika Amanut mengatakan bahwa dirinya tidak punya uang, petugas itu berlalu tanpa memberikan kepastian apakah ambulans itu bisa dipakai atau tidak. Petugas itu tidak peduli pada keadaan Amanut yang saat itu sedang kalut karena kehilangan anak yang dikasihinya. Setelah lelah menunggu selama satu jam tanpa kabar, Amanut akhirnya menggendong jenazah anaknya pulang ke rumahnya. Sungguh, tak berperikemanusiaan.

Namun Tuhan sungguh baik. Setelah berjalan 500 meter keluar dari RSUD WZ Yohannes, muncullah sebuah mobil yang baru pulang dari mengantar bahan bangunan dan berpapasan dengannya. Si supir yang baik hati itu menghentikan mobil, lalu turun dari mobilnya dan bertanya apa yang terjadi. Mendengar kisah Amanut, hati supir itu tergerak oleh belas kasihan. Demi kemanusiaan, supri itu mengantarkan Amanut dan jenazah anaknya pulang, tanpa meminta ongkos sepeserpun.
Berita pengabaian jenazah pasien miskin itu menyebar kemana-mana. Pihak RSUD WZ Yohannes ketika dikonfirmasi mengenai hal ini berdalih, dengan mengatakan bila ada kartu Jamkesmas dari orang tua maka pasien, termasuk jenazah pasien, akan mendapat pelayanan. Apabila keluarga pasien tidak memiliki kartu Jamkesmas, maka keluarga pasien bisa menguru surat keterangan miskin dari keluarahan atau RT setempat sebelum masuk rumah sakit. Kalau tidak ada surat keterangan atau kartu miskin maka rumah sakit akan mengalami kesulitan untuk melayani. Dan untuk layanan ambulans, jenazah keluarga miskin bisa diantar cuma-cuma, namun syaratnya ( lagi-lagi ) harus ada surat keterangan. Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah ya?

Beginilah wajah rumah sakit Indonesia. Tidak ada uang, nyawa melayang. Tidak ada uang, silakan pulang, Wajah kemanusiaan yang harusnya terpancar dari seluruh roman muka petugas rumah sakit ( termasuk bagian pendaftarannya ) tidak tampak lagi bila tidak ada uang. Yang ditampilkan justru wajah sebeku mayat. Tanpa ekspresi. Dingin tanpa belas kasihan. Padahal di hadapannya keluarga pasien sudah bersimbah airmata penuh permohonan.. Jangan harap pihak rumah sakit akan bergeming. Tidak akan. Tidak ada uang, tidak ada perawatan. Uang lebih penting daripada nyawa manusia. Alasannya klise. Alat rumah sakit mahal. Tenaga dokter, juru rawat dan obat semuanya mahal.

Tetapi kan ada jamkesnas... . Memang ada jamkesnas dari pemerintah untuk keluarga tidak mampu alias miskin. Namun sayangnya, sosialisasinya sama sekali tidak menyentuh rakyat lapisan bawah. Banyak masyarakat miskin yang tidak punya televisi, tidak tahu-menahu tentang fasilitas pengobatan gratis ini. Lantas dimana letak miss sosialisasinya? Aparat desakah?
Lantas apa yang harus dilakukan? Haruskah dibiarkan pihak rumah sakit membiarkan pasiennya mati begitu saja tanpa perawatan karena miskin? Haruskah dimaklumi semua alasan keuangan untuk mengabaikan keselamatan pasien? Mari camkan Firman Tuhan ini : "Janganlah merampasi orang lemah, karena ia lemah, dan janganlah menginjak-injak orang yang berkesusahan di pintu gerbang. Sebab TUHAN membela perkara mereka, dan mengambil nyawa orang yang merampasi mereka. " ( Amsal 22:22,23 ). Hidup adalah hak istimewa yang diberikan Tuhan kepada manusia. Hargailah manusia sebagaimana Tuhan menghargainya, siapapun dia dan betapapun miskinnya dia. ( Eva )
Terang Dunia Jumat, 13 Februari 2009




11 February 2009

Lawmakers insistent on Sidoarjo replies

The Jakarta Post , Jakarta | Sun, 06/10/2007 7:17 AM

Tony Hotland, The Jakarta Post, Jakarta

More than 200 lawmakers are preparing a motion to question the government over the handling of the Sidoarjo mudflow and they are determined to obtain from the government a solution for mudflow victims -- even if the President refuses to front up, a legislature watchdog said.

To date, other motions to question the government on important issues have resulted in neither the ministers nor the House giving adequate explanations.

And just days after the mudflow disaster first occurred, the President refused to attend a House session involving a motion to question the government's support of a UN sanction on Iran.

But Sebastian Salang from watchdog Formappi said the President's attendance was not required in order to obtain an urgent and much-needed answer for the victims of the Sidoarjo disaster.

Sebastian said Saturday the House simply had to obtain from the government a full set of solutions to quickly end the mudflow disaster, which has left more than 20,000 people homeless.

For more than a year, hot mud has been flowing from a drilling site owned by mining company PT Lapindo Brantas Inc.

The company is wholly owned by PT Energi Mega Persada which is owned by the Coordinating Minister for People's Welfare Aburizal Bakrie and his family.

""It doesn't matter if the President comes or not (to the questioning),"" Sebastian said.

""What does (matter) is that the House can force the government to (determine) a quick solution for the victims.

""Then we can believe the motion isn't another political bargain for money or position.""

Lawmakers have attempted several motions to question the government on issues including rice imports from Vietnam, the illegal sale of imported sugar, oil price hikes and the President's costly teleconferences with the United States.

Each motion however had failed to reach the House plenary session because initial supporters backed out, after lobbying from the government.

Sebastian also said the internal conflicts within government regarding Aburizal's position and connection with Lapindo was common knowledge.

But he said the House should use the opportunity to further investigate the conflict of interest.

""And we shall see if the President is protecting Aburizal or the public,"" Sebastian said.

Aburizal is said to have been a key donor to the President's campaign but has kept his position after last month's reshuffle.

University of Gadjah Mada (UGM) political analyst Ari Dwipayana said the government should have been able to dodge conflict of interest issues regarding Aburizal.

""The President should be able to showcase a stern attitude against members of the elite who, in turn, should take full responsibility in solving the mudflow problem,"" he said.

Ari agreed the planned questioning should be used to clarify this issue. He said the way the government had as of now handled the case was extremely poor.

""It's the people who suffer from these political games -- the Sidoarjo residents suffer because they have been left with no certainty about their future,"" he said.

More than 3,500 families in 11 villages have been displaced and small factories have been forced to shut down after the mudflow.

Residents said Lapindo had shown no commitment to take full responsibility for the ongoing mudflow disaster.

They said the company had for the past year ""dragged their feet to compensate the financial loss associated with the mudflow"".

And even though thousands of residents have lost their homes, including all their belongings and important paperwork, Lapindo has reportedly continued to ask for financial and other documents from mudflow victims.

Pajang saja Foto Anggota Dewan yang Malas dan Korup!

JAKARTA | SURYA Online - Sembilan bulan menjelang berakhir masa jabatan anggota DPR 2004-2009, kinerja ratusan wakil rakyat itu mulai dipertanyakan. Wajar saja, apalagi dalam satu tahun belakangan ini sejumlah anggota dewan yang terlibat kasus korupsi dan tingkat keaktifannya yang memprihatinkan.

Jika akhir tahun lalu sempat berembus wacana pengumuman tingkat kehadiran, satu gagasan ekstrim kali ini diutarakan Sekjen Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang.

Sebastian mengatakan, untuk memberikan pembelajaran politik bagi para politisi, cara yang paling efektif adalah memberikan sanksi secara sosial dan moral. Sanksi yang diberikan harus dipublikasikan secara terbuka.”Pajang saja foto anggota DPR yang malas, juga yang korup agar menjadi pembelajaran bagi masyarakat supaya kedepan bisa memilih calon yang berkualitas,” kata Sebastian dalam diskusi di Gedung DPD, Jakarta, Rabu (21/1).

Jika hal ini dilakukan, menurutnya akan memberikan pelajaran juga bagi para calon anggota legislatif yang berebut kursi untuk periode 2009-2014. “Kalau saat ini semangat memampangkan fotonya dijalan-jalan dan minta dicontreng, kita harus kasih pelajaran juga agar mereka siap juga kalau sudah jadi anggota dewan, fotonya dipampang karena malas,” ujarnya.

Selama ini, para calon anggota legislatif itu berlaku seenaknya ketika sudah duduk di kursi empuk Senayan. Keterbukaan atas penilaian kinerja anggota dewan, dalam pandangan dia merupakan bentuk penghargaan lembaga legislatif kepada rakyat yang telah memilihnya. Mekanisme kontrol yang dilakukan Badan Kehormatan DPR selama ini, dinilai belum memberikan efek jera dan mendorong keterbukaan. Sanksi yang hanya diketahui fraksi dan pimpinan DPR, menurut Sebastian, tidak memberikan pembelajaran politik yang baik bagi para politisi.

“Mestinya BK didorong agar apa yang dihasilkan diumumkan ke publik. Jangan ke dalam saja, yang hanya diketahui fraksi, partai, dan pimpinan dewan sehinggan tidak ada pelajaran bagi politisi. Yang paling besar bagi politisi adalah sanksi sosial dan moral,” kata Sebastian. Inggried Dwi Wedhaswary/kcm