26 February 2009

UNJUK KUASA DPR


Rapat dengar pendapat (RDP) Komisi VII DPR dengan Pertamina pada 10 Februari 2009 berbuntut panjang. Pernyataan serta pertanyaan anggota Komisi VII dinilai Direksi Pertamina berlebihan dan melecehkan. Bagaimana tidak, kinerja Direksi BUMN terkemuka itu disamakan dengan Satpam.


Tidak terima dengan pernyataan dan penilaian anggota Komisi VII, Direksi Pertamina mengirim surat teguran kepada DPR. Secara substansi, surat Pertamina sebetulnya hanya ingin mengklarifikasi pernyataan DPR dan meluruskan maksud RDP agar lebih efektif dan lebih menyentu substansi persoalan. Tidak ada yang luar biasa apalagi melecehkan (bila objektif mencermati isi surat).


Ternyata Komisi VII menanggapi surat Pertamina sebagai sebuah pelecehan terhadap Lembaga Negara. Rapat dengar pendapat yang telah diagendakan 16 Februari 2009 dibatalkan sepihak oleh DPR. Direksi Pertamina diberondong berbagai pertanyaan dan pernyataan yang bernada marah dari para anggota.


Ketegangan kedua lembaga itu tak terelakan. Namun bila ditelusuri lebih jauh, ketegangan DPR dengan Pertamina bukanlah hal baru. Hampir semua direksi baru Pertamina mengalami hal serupa. Anggota DPR biasanya sangat galak mengkritisi kebijakan direksi baru. Tetapi selanjutnya, sikap itu berubah. Apakah karena pihak direksi mampu menjinakan para anggota yang galak, atau kinerja Pertamina yang semakin baik sehingga anggota tidak perlu galak lagi, atau mungkin ada udang dibalik batu, hanya mereka (anggota) dan Tuhan yang tahu.


Bagi saya, sikap DPR yang galak maupun Direksi Pertamina yang mengirim surat protes, teguran atau apapun namanya, bukanlah sesuatu yang tabu atau luar biasa. DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasannya bebas bertanya apa saja dalam rapat dengar pendapat dengan mitra kerjanya. Sebagai anggota dewan terhormat, DPR sangat mampu membedakan yang patut dan tidak disampaikan dalam forum terhormat seperti itu. Dalam kode etik DPR juga dijelaskan, bahwa setiap anggota wajib dan bertanggungjawab untuk menjaga etika sopan santun dalam rapat - rapat di DPR.


Sebaliknya, mitra kerja tidak dilarang menyampaikan keberatan, protes atau klarifikasi kepada DPR baik disampaikan secara lisan maupun tertulis. Rakyat biasapun boleh mengirim surat protes, atau apapun namanya kepada DPR. Jadi DPR bukanlah lembaga super yang tidak dapat disentu siapapun.

Dalam konteks ini, saya menilai apa yang terjadi antara DPR dengan Pertamina demikian sebaliknya Pertamina terhadap DPR sebagai sesuatu yang biasa di alam demokrasi sekarang ini. Baik DPR maupun Pertamina juga punya hak untuk tersinggung, marah atau kecewa. Karena yang ada di dua lembaga tersebut adalah kumpulan manusia. Hanya peren mereka berbeda sesuai tugas dan fungsinya masing – masing.


Persoalannya adalah cara mengekspresikan perasaan tersinggung, marah dan kecewa yang dinilai berlebihan. Sikap DPR yang menghentikan RDP secara sepihak tanpa peduli dengan penjelasan pihak pertamina merupakan sikap arogansi yang berlebihan. Cara DPR yang demikian tidak lain hanyalah pamer kekuasaan, dimana mitra kerja (Pertamina) harus tunduk dihadapan DPR.


Sebetulnya mitra kerja lain yang diperlakukan seperti pertamina oleh komisi-komisi di DPR juga cukup banyak. Mungkin mitra kerja lain hanya diam selama ini ketika diperlakukan seperti itu. Sehingga ketika Pertamina menyampaikan keberatan melalui surat resmi, DPR seperti kebakaran jenggot sehingga menanggapinya begitu panik dan marah.


Seolah-olah surat pertamina telah meruntuhkan citra lembaga terhormat itu dalam sehari. Terus terang saya heran dan terkejut melihat kemarahan DPR karena merasa sangat dilecehkan dengan surat Pertamina. Pertanyaannya, apa yang salah dan mengapa harus merasa dilecehkan? Kalau DPR tidak ingin dilecehkan mestinya mereka juga tidak mengeluarkan pernyataan yang cenderung melecehkan mitra kerjanya.


Dengan dihentikan sepihak rapat dengan Pertamina sesungguhnya, DPR telah mengalahkan kepentingan yang lebih besar dengan persoalan eksistensi mereka. Dalam hal ini DPR gagal sebagai pejuang aspirasi rakyat untuk mempertanyakan mengapa krisis BBM dan gas terus terjadi?


Sesungguhnya pelecehan terbesar bagi DPR adalah ketika mereka tidak mampu mengemban amanat rakyat, untuk mengurangi penderitaan rakyat seperti korban Lapindo, krisis BBM, harga pupuk mahal, biaya sekolah mahal dan biaya kesehatan yang semakin melonjak. Andai kata DPR empati terhadap penderitaan rakyat yang terus mengantri BBM dan gas, mestinya RDP yang penting itu tidak dihentikan hanya karena merasa tersinggung.


Pelajaran Penting

Namun demikian, peristiwa itu telah terjadi, betul pepata yang mengatakan ”menyesal kemudian tak ada gunanya”. Tetapi apa yang dapat dipetik dari ketegangan DPR dengan pertamina ini? Bagi saya yang paling penting adalah : Pertama, perlu dibangun sikap saling menghargai dan menghormati satu dengan yang lain. Antara DPR dengan mitra kerjanya. Karena keinginan untuk dihargai dan dihormati bukan saja DPR tetapi juga pihak lain termasuk mitra kerja atau rakyat jelata sekalipun.


Kedua, apa yang dilakukan Pertamina merupakan pelajaran bagi DPR. Selama ini banyak mitra kerja yang diperlakukan hampir sama oleh komisi di DPR. Mungkin mereka tidak berani menyampaikan keberatan, hanya sekedar ingin menjaga relasi dengan DPR. Apa yang dilakukan Pertamina kiranya dapat membuka mata para anggota dewan terhormat sehingga ke depan tidak terulang kembali.


Ketiga, perlu didesain ulang sistem rapat kerja di DPR sehingga menjadi efektif dan efisien. Selama ini rapat dengar pendapat dengan mitra kerja terasa membosankan, jenu, bertele-tele, tidak efektif dan efisien. Karena itu perlu diatur agar rapatnya menjadi efektif dan efisien serta menyentu substansi persoalan. Tanpa membatasi hak anggota untuk bertanya, tetapi harus diatur agar tidak dijadikan ajang pidato bagi anggota yang cenderung berulang-ulang terhadap hal yang sama.


Keempat, DPR dan Pertamina perlu memperbaiki pola relasi ke depan. Karena kinerja pertamina yang baik sangat diharapkan rakyat bangsa ini yang mayoritas bergantung pada BBM dan gas yang disalurkan Pertamina. Sebaliknya, kontrol yang dilakukan DPR adalah bagian dari upaya untuk mendorong kinerja pertamina untuk semakin baik.


Kelima, tentu saja konflik ini harus segera diakhiri, karena kalau dibiarkan akan semakin parah. Bila hubungan kedua institusi ini tak kunjung baik maka yang dirugikan adalah rakyat banyak. Tapi memperbaiki pola hubungan bukan saling menjinakan apalagi kalau ada udang dibalik batu.

Sebastian Salang

Koordinator FORMAPPI Jakarta

( Catatan : Tulisan Ini telah diterbitkan Koran Suara Merdeka Semarang, edisi 19 Februari 2009)

No comments:

Post a Comment