24 January 2009

BANYAK SUARA TIDAK SAH PADA PEMILUN 2009

Pemilihan Umum anggota legislatif tinggal menghitung hari. Sementara masyarakat masih bingung, bagaimana seharusnya memilih yang sah. Keputusan KPU No 35/2008 tentang pedomaan teknis pelaksanaan pemungutan suara di TPS dalam pemilu legislative 2009 dinyatakan bahwa tanda pilih yang digunakan hanya tanda “ Contreng/Centang (V)”. Sedangkan pilihan yang dianggap sah apa bila menggunakan tanda / (Strip/garis miring) atau tercoblos. Pada hal masyarakat memiliki kebiasaan menandai pilihan yang beragam, misalnya tanda (V) contreng, silang (x), lingkaran (O), dan strip (/) atau coblos dsb.

Hal itu terungkap dari hasil survey yang dilakukan FORMAPPI dan IFES di beberapa daerah. Di lima wilayah di DKI Jakarta menunjukan, sebelum pemilih diberikan informasi tentang cara memilih dengan mencontreng, 46% pemilih menggunakan tanda centrang (v), 15% menyilang (x), 31,5% melingkari (0) dan 4,5% dengan tanda garis miring (/). Apa makna data survey tersebut? Artinya 46,5% suara dinyatakan tidak sah atau hilang tanpa makna, karena yang diakui oleh peraturan KPU hanya mencontreng.

Setelah pemilih diinformasikan secara langsung (setiap pemilih diingatkan satu persatu untuk memilih dengan moncontreng) , pilihannya meningkat menjadi, 75,5% menggunakan tanda (v), 8,5% tanda (x), 12% tanda (0) dan 1% tanda (/). Melihat kenyataan ini, masih ada 20,5% suara yang dianggap tidak sah. Dengan asumsi, sosialisasi sangat gencar dilakukan sampai seluruh plosok desa. Survay kedua dilakukan di 10 desa di daerah Jawa Barat. Hasilnya menunjukan, masih ada 21% pemilih yang mengunakan tanda selain mencontreng walaupun telah diberitahukan sebelum memilih. Survay di dua daerah yang dinilai dekat dengan sumber informasi menunjukan angka tidak sah yang signifikan. Mungkin hasilnya menjadi lain (lebih besar yang tidak sah) jika surveynya di daerah pedalaman yang jauh dari akses informasi seperti masyarakat Jakarta dan Jawa Barat.

Hasil survey seperti ini menjadi peringatan dini bagi bagi penyelenggara pemilu. Keputusan KPU yang hanya menetapkan tanda contreng, (coblos dan garis miring dianggap sah) telah menutup kemungkinan bagi pilihan pemilih yang menggunakan tanda berbeda. Menandai pilihan dengan melingkar atau menyilang secara substansi maknanya sama yakni memilih. Walau tanda yang digunakan untuk memilih berbeda, namun substansi pilihannya tidak berubah atau berkurang sedikitpun. Sementara peraturan KPU dengan sengaja mengabaikan atau menghilangkan suara pemilih. Artinya hak pemilih dikorbankan, orang yang dipilih juga kehilangan suaranya.


Bila ada 20 - 21% suara dinyatakan tidak sah oleh KPU, makan ada sekian juta pemilih kehilangan hak, sekian puluh kursi hilang, serta 8 partai yang kehilangan kesempatan masuk parlemen karena tidak mencapai 2,5% Parliamentary Treshold. Bisa dibayangkan tingkat kerugian yang demikian besar terhadap pemilih, para caleg maupun partai politik.. Ironisnya, hal itu terjadi karena aturan yang dibuat penyelenggara pemilu (KPU). Sehaarusnya menerjemahkan substansi pilihan pemilih merupakan peran penting yang harus disadari penyelenggara pemilu agar substansi pilihan pemilih tidak terabaikan atau dinyatakan tidak sah. Pada hal secara substansi pemilih telah menentukan pilihannya pada calon tertentu atau nomor urut tertentu dengan memberikan tanda silang, melingkar, mencoret atau mencontreng.

Di banyak negara, banyak ditemukan kasus dimana surat suara harus dihitung ulang dalam rangka mentrjemahkan niat pemilih. Dalam banyak jurisdiksi pemilu, surat suara tidak dapat ditolak atau dinyatakan tidak sah selama niat pemilih masih dapat diterjemahkan secara jelas. Walaupun pemilih tersebut gagal untuk mengikuti instruksi dalam pemungutan suara seperti yang telah disosoialisasikan.

Karena itu, walaupun pemilih telah diberi informasi melalui berbagai macam pesan sosialisasi dimana pemilih harus menandai surat suara dengan mencontreng (v), tetapi penyelenggara pemilu harus menyadari bahwa hal tersebut tidak selalu terjadi seperti yang diinginkan pada semua keadaan, sehingga penyelenggara pemilu harus juga mempunyai pertimbangan lain tentang pilihan penandaan alternatif yang dapat dianggap sah.

Untuk itu, ada beberapa pilihan yang bisa atau mungkin dilakukan KPU. Pertama, mengubah/amandemen peraturan KPU No 35 tahun 2008 tentang pedomaan teknis pelaksanaan pemungutan suara di TPS dalam pemilu legislative 2009. Kedua, menyiapkan kebijakan alternatif berupa surat keputusan atau surat edaran untuk mengantisipasi hilangnya suara pemilih. Bila tidak, akan banyak suara yang dinyatakan tidak sah pada pemilu 2009. Itu berarti, legitimasi Pemilu 2009 akan terancam.


Sebastian Salang

Koordinator FORMAPPI

22 January 2009

"Reses DPR Tak Transparan"

INILAH.COM, Jakarta — Setelah reses sejak 10 April lalu, anggota DPR kembali memasuki masa persidangan IV periode 2007-2008 mulai Senin (12/5). Dalam aturannya, reses adalah media anggota dewan untuk menyerap aspirasi konstituennya di daerah pemilihan. Tapi, seringkali masa reses tak efektif.

Bahkan, khittah reses itu ternodai dengan penangkapan beberapa anggota Komisi IV DPR atas dugaan gratifikasi dalam kasus alih fungsi hutan. Ini seakan menjadi petunjuk atas rumor pelaksanaan reses yang tak hanya penyerapan aspirasi publik, tapi juga media komunikasi transaksional yang tak patut.

Apa penyebab munculnya gratifikasi di tengah masa reses itu? Menurut Sekjen Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang, desain aturan reses selama ini memang tidak mengkondisikan transparansi.

"Reses mengkondisikan ruang gelap bagi anggota untuk melakukan deal-deal di daerah," kata Sebastian kepada INILAH.COM, Minggu (11/5) di Jakarta. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana Anda memandang reses ini dalam konteks penyerapan aspirasi publik?

Kalau kita bicara soal waktu reses, dari desain waktunya saja tidak begitu efektif untuk mendorong produktivitas anggota DPR. Kalau kita hitung, selama setahun itu ada empat kali reses. Di sisi lain, kita juga dapat menghitung bahwa kemampuan legislasi DPR cukup rendah. Tapi, sebetulnya, makin banyak mereka reses, idealnya makin banyak aspirasi masyarakat yang diserap. Karena pengertian reses itu ada dua, saat bagi DPR untuk melakukan kunjungan kerja menyangkut isu penting dan waktu bagi DPR pulang ke daerah pemilihannya.

Maksud Anda?

Dalam praktiknya, reses hanya efektif sepuluh hari selama satu bulan. Bisa dibayangkan apa yang dilakukan DPR dengan waktu sepuluh hari di daerah pemilihan yang begitu luas. Apalagi, kalau bicara soal geografi Indonesia yang memiliki daya jangkau luas. Kenapa DPR melakukan reses empat kali dalam setahun? Saya melihat, setiap kali reses, setiap anggota mendapat uang rata-rata Rp 40 juta. Artinya, dalam setahun Rp 160 juta. Itu jumlah dana yang cukup besar. Mereka pulang tidak diketahui oleh konstituen. Kegiatan mereka selama reses tidak dijadwalkan dengan baik. Jadi, kapan petani atau nelayan menyampaikan aspirasinya, itu tidak tahu.

Bagaimana seharusnya reses itu didesain agar efektif??

Seharusnya reses itu maksimalnya dua kali dalam setahun dengan waktu satu bulan, tapi efektif. Minimalnya selama 20 hari dipakai untuk bertemu dengan konstituen. Tapi, harus diumumkan sepekan sebelum pelaksanaan reses bahwa anggota DPR daerah pilihan akan datang di daerah, termasuk disebutkan kegiatan apa saja yang akan dilaksanakan di daerah pilihan itu. Jadwal itu juga harusnya diumumkan di media massa lokal, termasuk pula dipasang di sekretariat partai setiap level. Jadi ini akan memudahkan publik untuk bertemu anggota dewan.

Kedua, setiap aspirasi itu dilakukan oleh setiap anggota ke media yang disediakan DPR. Dengan cara ini, akan jelas sang anggota bertemu dengan siapa saja. Berapa uang yang dipakai dan apa saja aspirasi yang muncul saat reses. Jadi, semua itu bisa diketahui oleh publik sehingga jika ada anggota yang membuat laporan palsu, publik dapat dengan mudah menilainya.

Bagaimana mendesain reses sekiranya dapat secara efektif sebagai penyerapan aspirasi publik?

Kami mengusulkan ada perubahan di UU Susduk supaya posisi reses kuat. Karena dengan undang-undang, selain mengikat ke dalam tetapi juga keluar. Kalau selama ini reses diatur di Tatib, itu tidak ada konsekuensi hukumnya kalau dilanggar.

Dalam praktiknya, reses juga dijadikan peluang untuk melakukan praktik gratifikasi. Ini makin menegaskan bahwa tidak ada kontrol dalam masa reses ini. Apakah dengan dua kali reses dalam setahun akan meminimalisasi praktik gratifikasi?

Mestinya seperti itu. Jadi, prinsipnya, setiap kegiatan dalam reses itu dilaksanakan dengan transparan dan bisa diakses publik. Apa yang dilakukan oleh DPR akan bisa dipantau oleh seluruh masyarakat.

Apakah proses reses selama ini sangat tertutup?

Ya. Jadi tidak di-manage dengan baik. Reses mengkondisikan sebagai 'ruang gelap' agar anggota bisa melakukan deal-deal di daerah. Dengan kekuatan yang mereka miliki, itu (praktik gratifikasi, red) mudah sekali terjadi. [P1]