11 February 2009

Lawmakers insistent on Sidoarjo replies

The Jakarta Post , Jakarta | Sun, 06/10/2007 7:17 AM

Tony Hotland, The Jakarta Post, Jakarta

More than 200 lawmakers are preparing a motion to question the government over the handling of the Sidoarjo mudflow and they are determined to obtain from the government a solution for mudflow victims -- even if the President refuses to front up, a legislature watchdog said.

To date, other motions to question the government on important issues have resulted in neither the ministers nor the House giving adequate explanations.

And just days after the mudflow disaster first occurred, the President refused to attend a House session involving a motion to question the government's support of a UN sanction on Iran.

But Sebastian Salang from watchdog Formappi said the President's attendance was not required in order to obtain an urgent and much-needed answer for the victims of the Sidoarjo disaster.

Sebastian said Saturday the House simply had to obtain from the government a full set of solutions to quickly end the mudflow disaster, which has left more than 20,000 people homeless.

For more than a year, hot mud has been flowing from a drilling site owned by mining company PT Lapindo Brantas Inc.

The company is wholly owned by PT Energi Mega Persada which is owned by the Coordinating Minister for People's Welfare Aburizal Bakrie and his family.

""It doesn't matter if the President comes or not (to the questioning),"" Sebastian said.

""What does (matter) is that the House can force the government to (determine) a quick solution for the victims.

""Then we can believe the motion isn't another political bargain for money or position.""

Lawmakers have attempted several motions to question the government on issues including rice imports from Vietnam, the illegal sale of imported sugar, oil price hikes and the President's costly teleconferences with the United States.

Each motion however had failed to reach the House plenary session because initial supporters backed out, after lobbying from the government.

Sebastian also said the internal conflicts within government regarding Aburizal's position and connection with Lapindo was common knowledge.

But he said the House should use the opportunity to further investigate the conflict of interest.

""And we shall see if the President is protecting Aburizal or the public,"" Sebastian said.

Aburizal is said to have been a key donor to the President's campaign but has kept his position after last month's reshuffle.

University of Gadjah Mada (UGM) political analyst Ari Dwipayana said the government should have been able to dodge conflict of interest issues regarding Aburizal.

""The President should be able to showcase a stern attitude against members of the elite who, in turn, should take full responsibility in solving the mudflow problem,"" he said.

Ari agreed the planned questioning should be used to clarify this issue. He said the way the government had as of now handled the case was extremely poor.

""It's the people who suffer from these political games -- the Sidoarjo residents suffer because they have been left with no certainty about their future,"" he said.

More than 3,500 families in 11 villages have been displaced and small factories have been forced to shut down after the mudflow.

Residents said Lapindo had shown no commitment to take full responsibility for the ongoing mudflow disaster.

They said the company had for the past year ""dragged their feet to compensate the financial loss associated with the mudflow"".

And even though thousands of residents have lost their homes, including all their belongings and important paperwork, Lapindo has reportedly continued to ask for financial and other documents from mudflow victims.

Pajang saja Foto Anggota Dewan yang Malas dan Korup!

JAKARTA | SURYA Online - Sembilan bulan menjelang berakhir masa jabatan anggota DPR 2004-2009, kinerja ratusan wakil rakyat itu mulai dipertanyakan. Wajar saja, apalagi dalam satu tahun belakangan ini sejumlah anggota dewan yang terlibat kasus korupsi dan tingkat keaktifannya yang memprihatinkan.

Jika akhir tahun lalu sempat berembus wacana pengumuman tingkat kehadiran, satu gagasan ekstrim kali ini diutarakan Sekjen Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang.

Sebastian mengatakan, untuk memberikan pembelajaran politik bagi para politisi, cara yang paling efektif adalah memberikan sanksi secara sosial dan moral. Sanksi yang diberikan harus dipublikasikan secara terbuka.”Pajang saja foto anggota DPR yang malas, juga yang korup agar menjadi pembelajaran bagi masyarakat supaya kedepan bisa memilih calon yang berkualitas,” kata Sebastian dalam diskusi di Gedung DPD, Jakarta, Rabu (21/1).

Jika hal ini dilakukan, menurutnya akan memberikan pelajaran juga bagi para calon anggota legislatif yang berebut kursi untuk periode 2009-2014. “Kalau saat ini semangat memampangkan fotonya dijalan-jalan dan minta dicontreng, kita harus kasih pelajaran juga agar mereka siap juga kalau sudah jadi anggota dewan, fotonya dipampang karena malas,” ujarnya.

Selama ini, para calon anggota legislatif itu berlaku seenaknya ketika sudah duduk di kursi empuk Senayan. Keterbukaan atas penilaian kinerja anggota dewan, dalam pandangan dia merupakan bentuk penghargaan lembaga legislatif kepada rakyat yang telah memilihnya. Mekanisme kontrol yang dilakukan Badan Kehormatan DPR selama ini, dinilai belum memberikan efek jera dan mendorong keterbukaan. Sanksi yang hanya diketahui fraksi dan pimpinan DPR, menurut Sebastian, tidak memberikan pembelajaran politik yang baik bagi para politisi.

“Mestinya BK didorong agar apa yang dihasilkan diumumkan ke publik. Jangan ke dalam saja, yang hanya diketahui fraksi, partai, dan pimpinan dewan sehinggan tidak ada pelajaran bagi politisi. Yang paling besar bagi politisi adalah sanksi sosial dan moral,” kata Sebastian. Inggried Dwi Wedhaswary/kcm

DPR Tidak Peka

Jakarta–Dewan Perwakilan Rakyat tidak pernah belajar memperbaiki diri. Setelah beberapa waktu lalu pengadaan laptop menjadi masalah karena dinilai sebagai pemborosan, kini DPR mengulang kontroversi dengan proyek renovasi bermiliar-miliar.

Setelah sempat disetujui, belakangan anggota DPR menolak proyek renovasi. “Ini akibat proyek-proyek ini tidak pernah dibuat melalui mekanisme yang transparan,” kata Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang. Berikut petikan wawancaranya.


Bagaimana Anda melihat rencana renovasi ruangan di gedung DPR? Apakah renovasi ruangan ini memang penting?
Kalau melihat perubahan ruangan, perlu diketahui dulu desain dukungan staf ahli, bagaimana mereka memosisikan staf ahli. Staf ahli atau tim ahli seharusnya bukan seperti karyawan yang harus masuk kantor setiap hari. Mereka cukup ada di perpustakaan, berhubungan dengan mitra kerja anggota DPR, atau ke lembaga penelitian. Tidak harus terus-menerus ada di ruangan anggota DPR. Dia bisa kerja di mana saja. Tetapi, dia harus ada mendampingi saat anggota DPR rapat.

Sejumlah anggota DPR menolak, tetapi sebenarnya itu sudah masuk dalam rapat BURT. Kok belakangan baru menolak?
Mekanisme pembahasan proyek di DPR selalu kontroversial karena tidak adanya transparansi. Kita disuguhkan pertanyaan, mengapa proyek itu disetujui BURT? Mengapa proyek itu disetujui pimpinan DPR? Lantas, mengapa fraksi menolaknya? Ada relasi tidak jelas antara fraksi dan anggota BURT serta fraksi dan pimpinan DPR.
Seharusnya, setiap proses perkembangannya diumumkan kepada publik. Berapa dana yang dibutuhkan, kemudian siapa saja fraksi yang menolak atau menyetujui. Semuanya harus dijelaskan secara transparan. Sistem kerjanya tidak jelas atau mungkin sengaja didesain seperti itu agar ada yang bisa mengambil keuntungan dari situ.

Melihat mekanisme pengambilan keputusan dalam proyek, menurut Anda siapa yang diuntungkan?
Orang yang diuntungkan pasti yang terlibat dalam tender tersebut. Bisa pemenang tender, Setjen DPR, atau para anggota DPR. Dengan sistem tertutup seperti ini, siapa pun bisa diuntungkan. Pengumuman tender selalu diumumkan pada saat sedang reses. Dampaknya, anggota sulit klarifikasi. Sepertinya jadwal ini juga menjadi bagian dari skenario yang sengaja dibuat.

Mengenai biaya renovasi, apakah terlalu besar jika dibandingkan kebutuhan DPR?
Besarnya anggaran dengan model renovasi seperti itu tidak harus sampai Rp 30 miliar lebih. Ini menunjukkan DPR tidak memiliki sense of crisis. Tidak ada kepekaan di tengah biaya hidup yang semakin mencekik masyarakat. Barang-barang semakin mahal, DPR justru menganggarkan hal-hal seperti ini. Ini terjadi berulang kali seperti dalam soal pengadaan laptop.

Peraturan seperti apa yang seharusnya mengatur soal transparansi dalam proyek dan pengadaan di parlemen?
UU Susduk dan tata tertib DPR agar lebih kuat mengatur bahwa penetapan mekainsme proyek harus lebih transparan.
Ketua DPR telah mengizinkan KPK atau BPK memeriksa Setjen DPR.

Bagaimana menurut Anda?
Dia hanya menantang saja. Tetapi, ini bukan masalah mempersoalkan KPK, melainkan ada perasaan keadilan masyarakat yang terlukai di sini. Itu tidak berarti melecehkan karena mereka sendiri yang membiarkan dirinya dilecehkan. Saya rasa itu perlu juga. (vidi vici)


Copyright © Sinar Harapan 2008

10 February 2009

ANGKET DPR SELALU GAGAL?

Hak Angket DPR adalah hak konstitusional wakil rakyat (DPR) untuk menyelidiki kebijakan pemerintah yang terindikasi bertentangan dengan undang-undang. Pengunaan hak angket oleh DPR merupakan pengejawantaan fungsi pengawasan terhadap eksekutif. Apabila hasil penyelidikan dapat membuktikan kebijakan pemerintah bertentangan dengan undang-undang, kebijakan pemerintah tersebut dapat dibatalkan.


Untuk melaksanakan hak angket, ada sejumlah prosedur yang harus ditempu. Sekurang-kurangnya sepulu orang anggota menyampaikan usulan kepada pimpinan, selanjutnya pimpinan mengundang seluruh anggota dalam rapat paripurna untuk membahas, perlu tidaknya usulan penggunaan hak angket ditindaklanjuti. Bila paripurna menyetujui, akan dibentuk panitia khusus yang terdiridari berbagai fraksi. Selanjutnya, pekerjaan penyelidikan dilakukan panitia yang terbentuk. Sebaliknya, bila paripurna tidak menyetujui, maka usulan pengunaan hak angket berhenti sampai di situ.


Dalam sejarahnya, DPR belum pernah berhasil menggunakan hak angket sampai tuntas. Tercatat, sejak tahun 1953 hingga 2009, DPR telah berulangkali mencoba menggunakan hak angket namun gagal. Kebanyakan usulan hak angket berhenti sampai paripurna, ada beberapa yang disetujui paripurna namun penitia angketnya gagal melaksaakan tugasnya sampai selesai.

Itulah sebabnya public seringkali meragukan kesunguhan DPR bila ingin mengajukan hak angket terkait kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan masyarakat. Bahkan tidak jarang komentar bernada sinis dan curiga terhadap anggota atau fraksi yang ingin mengajukan usulan penggunaan hak angket. Karena tidak sedikit usulan angket DPR berujung pada kegagalan, padahal masyarakat manaru harapan besar pada pengunaan angket tersebut.

Pertanyaan yang selalu muncul, mengapa usulan angket selalu gagal dan berhenti titengah proses?, Dari pengalaman kegagalan beberapa usulan angket DPR belakangan ini, saya melihat sekurang-kurangnya ada tiga alasan penting yang patut dicermati.


Pertama, agar usulan penggunaan hak angket disetujui ada mekanisme birokrasi cukp panjang yang harus ditempu pengusul. Dalam proses birokrasi tersebut, ruang untuk menggagalkan atau menghambat usaha pengusul bias terjadi. Mekanisme birokrasi yang panjang bias dijadikan alat untuk menggagalkan usulan, atau mengkondisikan sedemikian rupa sehingga pengusul jenuh, malas bahkan marah sehingga usulannya ditarik kembali.


Kedua, diakui atau tidak, penggunaan hak angket DPR, syarat dengan kepentingan politik. Karena penggunaan hak angket dapat berujung pada impeachment terhadap presiden. Artinya, konsekwensi politik pengunaan hak angket DPR tidak main-main. Karena itu, disetujui atau tidaknya usulan angket merupakan pertarungan kepentingan politik dua kekuatan politik besar di DPR.

Tentu saja kelompok pendukung pemerintah berjuang habis-habisan bahkan sampai menghalalkan segala cara demi mengagalkan usulan angket. Sebaliknya kelompok kontra pemerintah berupaya agar usulan angket selalu disetujui. Namun dalam kenyataan, pengusul seringkali menarik usulannya karena alas an yang sering kurang jelas. Inilah yang membuat public kecewa pada sikap DPR.


Ketiga, hak angket merupakan hak menyelidiki kebijakan pemerintah. Artinya DPR harus membuktikan kebijakan pemerintah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Membuktikan sebuah kebijakan itu bertentangan atau tidak bukanlah pekerjaan muda. Aktifitas DPR yang demikian padat tentu saja menyulitkan proses penyelidikan bagi kebijakan pemerintah yang sedang diuji. Selain itu, melaksanakan tugas penyelidikan membutuhkan keahlian khusus yang belum tentu dimiliki angota panitia angket. Selain kealian, perangkat pendukung yang professional dan objektif untuk membantu melakukan tugas penyelidikan sampai saat ini belum ada.


Ketiga factor di atas sangat menentukan dinamika di DPR dalam membahas pelaksanaan angket serta kerja panitia angket. Sayangnya, setelah puluhan tahun kta memiliki parlemen dan pengalaman kegagalan pelaksanaan hak angket, DPR belum mau belajar dari kesalahan sebelumnya. Soal aturan main pengajuan pelaksanaan hak angket misalnya, masih sangat birokratis dan bertele – tele. Mestinya dapat dipersingkat sehingga ruang untuk menghambat para pengusul dapat dikurangi.

Selain itu, tata tertib DPR memberikan kesempatan kepada minimal 10 orang anggota DPR secara individu dari minimal dua fraksi dapat mengusulkan hak angket. Namun pada sisi yang lain, hak individu anggota DPR yang mengajukan menjadi hilang ketika fraksi –fraksi di DPR yang menentukan hak angket yang diusulkan dapat dilaksanakan atau tidak. Intervensi fraksi harus dikurangi sehingga hatinurani setiap anggota lebih berbicara dalam menentukan sikap, bukan kepentingan partai.


Demikian juga supoting sistem bagi pelaksanaan angket harus dipersiapkan sehingga pekerjaan DPR dapat didukung oleh tim yang profesional. Hanya dengan memperbaiki beberapa faktor tersebut,hambatan pelaksanaan hak angket dapat dikurangi. Karena jika tidak, maka hak angket DPR sampai kapanpun tidak pernah dapat dilaksanakan dan hanya akan menjadi alat bargaining fraksi – fraksi yang pro maupun kontra dengan eksekutif.


Sebastian Salang