22 January 2009

"Reses DPR Tak Transparan"

INILAH.COM, Jakarta — Setelah reses sejak 10 April lalu, anggota DPR kembali memasuki masa persidangan IV periode 2007-2008 mulai Senin (12/5). Dalam aturannya, reses adalah media anggota dewan untuk menyerap aspirasi konstituennya di daerah pemilihan. Tapi, seringkali masa reses tak efektif.

Bahkan, khittah reses itu ternodai dengan penangkapan beberapa anggota Komisi IV DPR atas dugaan gratifikasi dalam kasus alih fungsi hutan. Ini seakan menjadi petunjuk atas rumor pelaksanaan reses yang tak hanya penyerapan aspirasi publik, tapi juga media komunikasi transaksional yang tak patut.

Apa penyebab munculnya gratifikasi di tengah masa reses itu? Menurut Sekjen Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang, desain aturan reses selama ini memang tidak mengkondisikan transparansi.

"Reses mengkondisikan ruang gelap bagi anggota untuk melakukan deal-deal di daerah," kata Sebastian kepada INILAH.COM, Minggu (11/5) di Jakarta. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana Anda memandang reses ini dalam konteks penyerapan aspirasi publik?

Kalau kita bicara soal waktu reses, dari desain waktunya saja tidak begitu efektif untuk mendorong produktivitas anggota DPR. Kalau kita hitung, selama setahun itu ada empat kali reses. Di sisi lain, kita juga dapat menghitung bahwa kemampuan legislasi DPR cukup rendah. Tapi, sebetulnya, makin banyak mereka reses, idealnya makin banyak aspirasi masyarakat yang diserap. Karena pengertian reses itu ada dua, saat bagi DPR untuk melakukan kunjungan kerja menyangkut isu penting dan waktu bagi DPR pulang ke daerah pemilihannya.

Maksud Anda?

Dalam praktiknya, reses hanya efektif sepuluh hari selama satu bulan. Bisa dibayangkan apa yang dilakukan DPR dengan waktu sepuluh hari di daerah pemilihan yang begitu luas. Apalagi, kalau bicara soal geografi Indonesia yang memiliki daya jangkau luas. Kenapa DPR melakukan reses empat kali dalam setahun? Saya melihat, setiap kali reses, setiap anggota mendapat uang rata-rata Rp 40 juta. Artinya, dalam setahun Rp 160 juta. Itu jumlah dana yang cukup besar. Mereka pulang tidak diketahui oleh konstituen. Kegiatan mereka selama reses tidak dijadwalkan dengan baik. Jadi, kapan petani atau nelayan menyampaikan aspirasinya, itu tidak tahu.

Bagaimana seharusnya reses itu didesain agar efektif??

Seharusnya reses itu maksimalnya dua kali dalam setahun dengan waktu satu bulan, tapi efektif. Minimalnya selama 20 hari dipakai untuk bertemu dengan konstituen. Tapi, harus diumumkan sepekan sebelum pelaksanaan reses bahwa anggota DPR daerah pilihan akan datang di daerah, termasuk disebutkan kegiatan apa saja yang akan dilaksanakan di daerah pilihan itu. Jadwal itu juga harusnya diumumkan di media massa lokal, termasuk pula dipasang di sekretariat partai setiap level. Jadi ini akan memudahkan publik untuk bertemu anggota dewan.

Kedua, setiap aspirasi itu dilakukan oleh setiap anggota ke media yang disediakan DPR. Dengan cara ini, akan jelas sang anggota bertemu dengan siapa saja. Berapa uang yang dipakai dan apa saja aspirasi yang muncul saat reses. Jadi, semua itu bisa diketahui oleh publik sehingga jika ada anggota yang membuat laporan palsu, publik dapat dengan mudah menilainya.

Bagaimana mendesain reses sekiranya dapat secara efektif sebagai penyerapan aspirasi publik?

Kami mengusulkan ada perubahan di UU Susduk supaya posisi reses kuat. Karena dengan undang-undang, selain mengikat ke dalam tetapi juga keluar. Kalau selama ini reses diatur di Tatib, itu tidak ada konsekuensi hukumnya kalau dilanggar.

Dalam praktiknya, reses juga dijadikan peluang untuk melakukan praktik gratifikasi. Ini makin menegaskan bahwa tidak ada kontrol dalam masa reses ini. Apakah dengan dua kali reses dalam setahun akan meminimalisasi praktik gratifikasi?

Mestinya seperti itu. Jadi, prinsipnya, setiap kegiatan dalam reses itu dilaksanakan dengan transparan dan bisa diakses publik. Apa yang dilakukan oleh DPR akan bisa dipantau oleh seluruh masyarakat.

Apakah proses reses selama ini sangat tertutup?

Ya. Jadi tidak di-manage dengan baik. Reses mengkondisikan sebagai 'ruang gelap' agar anggota bisa melakukan deal-deal di daerah. Dengan kekuatan yang mereka miliki, itu (praktik gratifikasi, red) mudah sekali terjadi. [P1]

No comments:

Post a Comment