11 February 2009

DPR Tidak Peka

Jakarta–Dewan Perwakilan Rakyat tidak pernah belajar memperbaiki diri. Setelah beberapa waktu lalu pengadaan laptop menjadi masalah karena dinilai sebagai pemborosan, kini DPR mengulang kontroversi dengan proyek renovasi bermiliar-miliar.

Setelah sempat disetujui, belakangan anggota DPR menolak proyek renovasi. “Ini akibat proyek-proyek ini tidak pernah dibuat melalui mekanisme yang transparan,” kata Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang. Berikut petikan wawancaranya.


Bagaimana Anda melihat rencana renovasi ruangan di gedung DPR? Apakah renovasi ruangan ini memang penting?
Kalau melihat perubahan ruangan, perlu diketahui dulu desain dukungan staf ahli, bagaimana mereka memosisikan staf ahli. Staf ahli atau tim ahli seharusnya bukan seperti karyawan yang harus masuk kantor setiap hari. Mereka cukup ada di perpustakaan, berhubungan dengan mitra kerja anggota DPR, atau ke lembaga penelitian. Tidak harus terus-menerus ada di ruangan anggota DPR. Dia bisa kerja di mana saja. Tetapi, dia harus ada mendampingi saat anggota DPR rapat.

Sejumlah anggota DPR menolak, tetapi sebenarnya itu sudah masuk dalam rapat BURT. Kok belakangan baru menolak?
Mekanisme pembahasan proyek di DPR selalu kontroversial karena tidak adanya transparansi. Kita disuguhkan pertanyaan, mengapa proyek itu disetujui BURT? Mengapa proyek itu disetujui pimpinan DPR? Lantas, mengapa fraksi menolaknya? Ada relasi tidak jelas antara fraksi dan anggota BURT serta fraksi dan pimpinan DPR.
Seharusnya, setiap proses perkembangannya diumumkan kepada publik. Berapa dana yang dibutuhkan, kemudian siapa saja fraksi yang menolak atau menyetujui. Semuanya harus dijelaskan secara transparan. Sistem kerjanya tidak jelas atau mungkin sengaja didesain seperti itu agar ada yang bisa mengambil keuntungan dari situ.

Melihat mekanisme pengambilan keputusan dalam proyek, menurut Anda siapa yang diuntungkan?
Orang yang diuntungkan pasti yang terlibat dalam tender tersebut. Bisa pemenang tender, Setjen DPR, atau para anggota DPR. Dengan sistem tertutup seperti ini, siapa pun bisa diuntungkan. Pengumuman tender selalu diumumkan pada saat sedang reses. Dampaknya, anggota sulit klarifikasi. Sepertinya jadwal ini juga menjadi bagian dari skenario yang sengaja dibuat.

Mengenai biaya renovasi, apakah terlalu besar jika dibandingkan kebutuhan DPR?
Besarnya anggaran dengan model renovasi seperti itu tidak harus sampai Rp 30 miliar lebih. Ini menunjukkan DPR tidak memiliki sense of crisis. Tidak ada kepekaan di tengah biaya hidup yang semakin mencekik masyarakat. Barang-barang semakin mahal, DPR justru menganggarkan hal-hal seperti ini. Ini terjadi berulang kali seperti dalam soal pengadaan laptop.

Peraturan seperti apa yang seharusnya mengatur soal transparansi dalam proyek dan pengadaan di parlemen?
UU Susduk dan tata tertib DPR agar lebih kuat mengatur bahwa penetapan mekainsme proyek harus lebih transparan.
Ketua DPR telah mengizinkan KPK atau BPK memeriksa Setjen DPR.

Bagaimana menurut Anda?
Dia hanya menantang saja. Tetapi, ini bukan masalah mempersoalkan KPK, melainkan ada perasaan keadilan masyarakat yang terlukai di sini. Itu tidak berarti melecehkan karena mereka sendiri yang membiarkan dirinya dilecehkan. Saya rasa itu perlu juga. (vidi vici)


Copyright © Sinar Harapan 2008

No comments:

Post a Comment